Berikan Komentar yang membangun untuk lebih mengembangkan blog ini

Senin, 28 November 2011

ASURANSI SYARI’AH
PERBEDAAN SECARA UMUM ANTARA ASURANSI SYARI’AH DENGAN ASURANSI KONVENSIONAL

Sebelum lebih jauh kita melihat perbedaan antara asuransi syari’ah dengan asuransi konvensional terlebih dahulu kita melihat persamaan diantara kedua lembaga tersebut. Menurut Muhammad Firdaus (dalam bukunya yang berjudul Sistem Operasional Asuransi Syari’ah) bahwa persamaan kedua lembaga antara asuransi syari’ah dengan konvensionnal adalah sama-sama berbentuk lembaga atau jasa keuangan yang menghimpun dana masyarakat untuk memberikan perlindungan kepada anggota masyarakat pemakai jasa asuransi terhadap kemungkinan timbulnya kerugian karena suatu peristiwa yangn tidak pasti datangnya, seperti; kecelakaan, kebakaran, meninggal dunia, dan sebagainya. Atau juga sama-sama suatu lembaga yang bertugas memberikan jasa proteksi untuk mengelola dan menanggulangi resiko atas bencana atau kerugian.
Perbedaan paling mendasar antara asuransi syari’ah dengan konvensional terutama terletak pada prinsip ta’awun (tanggung-menanggung) yang menjadi tulang punggung bagi asuransi syari’ah, dibandingkan dengan asuransi konvensionnal yang lebih mendasarkan pengalihan resiko dari nasabah kepada perusahaan asuransi.
Perbedaan-perbedaan lainnya antara asuransi syari’ah dengan konvensional antara lain :
1.      Misi dan Visi
Misi yang diemban dalam asuransi syari’ah adalah misi Aqidah (membersihkan diri dari praktik muamalah yang bertentangan dengan syari’ah), misi ibadah, misi mengangkat perekonnomian umat, dan misi pemberdayaan umat. Tolong menolong sesama peserta dengan hanya berharap keridhaan Allah.
Adapun misi dan visi konvensional secara garis besar misi utamanya adalah komisi reasuransi dan hasil investasi seluruhnya adalah merupakan keuntungan perusahaan.
2.      Konsep
Konsep asuransi syari’ah adalah sekumpulan orang yang saling bantu-membantu, saling menjamin, dan bekerja sama antara satu dengan lainnya dengan cara masing-masing mengeluarkan dana tabarru’.
Adapun konsep asuransi konvensional adalah perjanjian antara dua belah pihak atau lebih, dimana pihak penanggung mengaitkan diri kepada tertanggung dengan menerima pergantian kepada tertanggung.
3.      Asal Usul Asuransi
Asuransi telah dikenal sejak zaman dahulu kala, dikarenakan nilai dasar penopang dari konsep asuransi ini yang terwujud dalam bentuk tolong-menolong sudah ada bersama dengan adanya manusia. Dimana manusia pada masa itu telah menyelamatkan jiwanya dari berbagai ancaman, antarai lain kekurangan bahan makanan.
Asal usul asuransi dilihat dari Al-Aqilah, yaitu kebiasaan suku Arab jauh sebelum Islam datang. Kemudian disahkan oleh Rasulullah menjadi hukum Islam, bahkan telah tertuang dalam konstitusi pertama di dunia (Konstitusi Madinah) yang dibuat langsung oleh Rasulullah.
Asal usul asuransi berasal dari masyarakat Babilonia 4000-3000 SM yang dikenal dengan perjanjian Hammurabi. Dan tahun 1668 M di Coffee House London berdirilah Lloyd of London sebagai cikal bakal asuransi konvensional.
Sejak tahun 1979 ketika sebuah perusahaan asuransi di Sudan, yaitu Sudanese Islamic Insurance pertama kali memperkenalkan asuransi syariah. Kemudian pada tahun yang sama sebuah perusahaan asuransi jiwa di Uni Emirat Arab juga memperkenalkan asuransi syariah di wilayah Arab.
Setelah itu pada tahun 1981 sebuah perusahaan asuransi jiwa di Swiss bernama Dar Al-Maal Al-Islami memperkenalkan asuransi  syariah di Jenewa. Diiringi oleh penerbitan asuransi syariah kedua di Eropa yang di perkenalkan oleh Islamic Takafol Company (ITC) di Luksemburg pada tahun 1983, dan diikuti pada beberapa negara yang lain. Hingga saat ini asuransi syariah semakin dikenal luas dan dinikmati oleh masyarakat dan negara-negara baik muslim maupun non-muslim.
4.      Sumber Hukum
Sumber hukum dari asuransi syari’ah bersumber dari wahyu illahi. Sumber hukum dalam Islam adalah Al-Qur’an, As-Sunnah (kebiasaan rasul), ijma’, fatwa sahabat, qiyas, istihsan, urf, tradisi dan maslahah mursalah.
1)      Al-Qur’an
Dalam Al-Qur’an memang tidak dijelaskan secarah utuh tentang praktik asuransi syari’ah dan tidak satu pun ayat yang menjelaskan tentang praktik ta’min dan takaful. Akan tetapi dalam Al-Qur’an terdapat ayat yang memuat tentang nilai-nilai asuransi syari’ah/islam. (Syarifuddin, 2001:1 : Ushul Fiqh Jilid 2). Nilai-nilai yang diambil Al-Qur’an antara lain :
a.       Perintah Allah Mempersiapkan Hari Depan
Surat Al-Hasyr : 18 :
يٰأَيُّهَا الَّذِيْنَ ءَامَنُوْا اتَّقُوا اللهَ وَلْتَنْظُرْ نَفسٌ مَّاقَدَّمَتْ لِغَدٍۖ وَاتَّقَوااللهَۚ إِنَّ اللهَ خَبِيْرُۘ بِمَا تَعْمَلُوْنَ﴿۱۸
Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan hendaklah setiap diri memperhatikan apa yang telah diperbuatnya untuk hari esok (akhirat); dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.
b.      Perintah Allah untuk saling tolong menolong dan bekerjasama
Surat Al-Maidah : 2 :
وَتَعَاوَنُوْا عَلَى الْبِرِّ وَالتَّقْوَىۖ وَلاَتَعَاوَنُواعَلَى الإِسْمِ وَالْعُدْوَٰنِۚ وَاتَّقُوااللهَۖ إِنَّ اللهَ شَدِيْدُ الْعِقَابِ﴿۲
“.... Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran dan bertakwalah kamu kepada Allah, sesungguhnya Allah amat berat siksa-Nya”
Jadi prinsip yang paling utama dalam konsep asuransi Islam adalah prinsip tolong-menolong atau dalam bahasa Al-Qur’an disebut ta’awun adalah inti dari semua prinsip dalam asuransi syari’ah.
c.       Perintah Allah untuk melindungi dalam keadaan susah
Surah Al-Quraisy : 4 :
اَلَّذِىْ أَطْعَمَهُمْ مِنْ جُوعٍ وَءَامَنَهُمْ مِنْ خَوْفٍ ﴿٤﴾
“Yang telah memberi makanan kepada mereka untuk menghilangkan lapar dan mengamankan mereka dari ketakutan.”
d.      Perintah allah untuk bertawakkal dan optimis berusaha
Surat Lukman : 34 :
وَمَاتَدْرِى نَفْسٌ مَّاذَا تَكْسِبُ غَدًاۖ وَمَاتَدْرِى نَفْسٌ بِأَيِّ أَرْضٍ تَمُوْتُۚ إِنَّ اللهَ عَلِيْمٌ خَبِيْرٌ﴿۳٤﴾
“Dan tiada seorang pun yang dapat mengetahui (dengan pasti) apa yang akan diusahakannya besok. Dan tiada seorang pun yang dapat mengetahui di bumi mana dia akan mati, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal.”
Manusia itu tidak dapat mengetahui dengan pasti apa yang akan diusahakannya besok atau yang akan diperolehnya, namun demikian, mereka diwajibkan berusaha.
2)      As-Sunnah (kebiasan Rasul)
Hadist tentang menghindari resiko
Diriwayatkan dari Anas bin Malik ra., bertanya seseorang kepada Rasulullah Saw. tentang (untanya) : “Apa (unta) ini saya ikat saja atau lansung saya bertawakkal pada Allah Swt? Bersabda Rasulullah Saw : “Pertama Ikatlah unta itu, kemudian bertawkallah kepada Allah Swt. (H.R. At-Tirmidzi).
3)      Ijma’
Para sahabat telah melakukan kesepakatan (ittifaq) dalam hal Aqilah yang dilakukan oleh khalifah Umar bin Khatab. Adanya ijma atau kesepakatan ini tampak dengan tidak ada sahabat lainnya yang menentang pelaksanaan aqilah ini. Aqilah adalah iuran darah yang dilakukan oleh keluarga dari pihak laki-laki (ashabah) dari sisi pembunuh (orang yang menyebabkan kematian orang lain secara tidak sewenang-wenang). Dalam hal ini kelompoklah yang menanggung pembayaran, karena si pembunuh merupakan anggota dari kelompok tersebut. Dengan tidak adanya sahabat yang menentang khalifah Umar r.a., bisa disimpulkan bahwa telah terdapat ijma di kalangan sahabat Nabi Saw mengenai persoalan ini.
4)      Fatwa Sahabat
Praktik sahabat berkenaan dengan pembayaran hukuman (ganti rugi0 pernah dilaksanakan oleh khalifah kedua, Umar bin Khatab mereka berkata “orang-orang yang mana tercantum dalamm diwan tersebut berhak menyumbang untuk pembayaran hukuman (ganti rugi) atas pembunuhan (tidak sengaja) yang dilakukan oleh salah seorang anggota masyarakat mereka.” Umar-lah orang yang pertama kali mengeluarkan perintah untuk menyiapkan daftar secara profesional per wilayah, dan orang-orang yang terdaftar diwajibkan saling menanggung beban.
5)      Qiyas
Qiyas adalah metode ijtihad dengan jalan menyamakann hukum suatu hal yang tidak terdapat ketentuan di dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah/Al-Hadist dengan hal lain yang hukumnya disebut dalam Al-qur’an dan As-Sunnah/Al-Hadist, karena persamaan illat (penyebab atau alasannya). Sistem aqilah pada zaman pra-Islam di qiyas kan dengan sistem aqilah yang diterima pada zaman Rasulullah Saw.
6)      Istihsan
Istihsan adalah beralih dari penetapan hukum berdasarkan adat kebiasaan. Adapun mekanisme istihsan berlaku dari kebiasaan aqilah di kalangan suku Arab kuno/pra-Islam. Letak dari fenomena sebenarnya dari sistem ini adalah dapat mengubah dan meminimalisasi aksi balas dendam yang berkelanjutan di masa yang akan datang.
Sedangkan sumber hukum asuransi konvensional bersumber dari pikiran manusia dan kebudayaan. Berdasarkan hukum positif, dan hukum alami.
5.      Akad
Dalam asuransi syari’ah akad yang digunakan adalah akad tabarru’ dan akad tijarah (mudarabah, wakalah, wadiah, syirkah dan sebagainya). Sedangkan dalamm akad asuransi konvensional adalah akad jual beli (akad mu’awadhah, idz’aan, gharar dan mulzim).
6.      Sharing of Risk dan Transfer of Risk
Proses hubungan peserta dan perusahaan dalam mekanisme pertanggungan pada asuransi syariah adalah sharing of risk atau “saling menanggung resiko”. Apabila terjadi musibah, maka semua peserta asuransi syariah saling menanggung. Dengan demikian, tidak terjadi transfer resiko ( transfer of risk atau “memindahkan resiko” ) dari peserta ke perusahaan seperti pada asuransi konvensional.
7.      Pengolahan Dana
Di dalam operasional asuransi syariah yang sebenarnya terjadi adalah saling bertanggung jawab, bantu-membantu dan melindungi di antara para peserta sendiri. Perusahaan asuransi diberi kepercayaan (amanah) oleh para peserta untuk mengelola premi, mengembangkan dengan jalan yang halal, memberikan santunan kepada yang mengalami musibah sesuai isi akta perjanjian tersebut.
Keuntungan perusahaan asuransi syariah diperoleh dari bagian keuntungan dana dari para peserta, yang dikembangkan dengan prinsip mudharabah (sistem bagi hasil). Para peserta asuransi syariah berkedudukan sebagai pemilik modal dan perusahaan asuransi syariah berfungsi sebagai yang menjalankan modal. Keuntungan yang diperoleh dari pengembangan dana itu dibagi antara para peserta dan perusahaan sesuai ketentuan yang telah disepakati.
Mekanisme pengelolaan dana peserta (premi) terbagi dua sistem yaitu:
1.      Sistem yang mengandung unsur tabunga
2.      Sistem yang tidak mengandung unsur tabungan
1. Sistem yang mengandung unsur tabungan
Setiap peserta wajib membayar sejumlah uang secara teratur kepada perusahaan. Besar premi yang akan dibayarkan tergantung kepada kemampuan peserta. Akan tetapi perusahaan menetapkan jumlah minimum premi yang dapat dibayarkan. Setiap peserta dapat membayar premi tersebut, melalui rekening koran, giro atau membayar langsung. Peserta dapat memilih cara pembayaran, baik tiap bulan, kuartal, semester maupun tahunan.
Setiap premi yang dibayar oleh peserta akan dipisah oleh perusahaan asuransi dalam dua rekening yang berbeda, yaitu :
a.  Rekening Tabungan, yaitu kumpulan dana yang merupakan milik peserta, yang dibayarkan bila :
- Perjanjian berakhir
- Peserta mengundurkan diri
- Peserta meninggal dunia
b. Rekening Tabarru’, yaitu kumpulan dana yang diniatkan oleh peserta sebagai iuran kebajikan untuk tujuan saling tolong-menolong dan saling membantu, yang dibayarkan bila :
- Peserta meninggal dunia
- Perjanjian telah berakhir (jika ada surplus dana)
Kumpulan dana peserta ini akan diinvestasikan sesuai dengan syariah Islam. Tiap keuntungan dari hasil investasi, setelah dikurangi denagn beban asuransi (klaim dan premi re-asuransi), akan dibagi menurut prinsip Al-Mudharabah. Prosentase pembagian mudharabah (bagi hasil) dibuat dalam suatu perbandingan tetap berdasarkan perjanjian kerjasama antara perusahaan dengan peserta.
2. Sistem yang tidak mengandung unsur tabungan
Setiap premi yang dibayar oleh peserta, akan dimasukkan dalam Rekening Tabarru’, yaitu kumpulan dana yang diniatkan oleh peserta sebagai iuran kebajikan untuk tujuan saling tolong-menolong dan saling membantu, dan dibayarkan bila :
- Peserta meninggal dunia
- Perjanjian telah berakhir (jika ada surplus dana)
Kumpulan dana peserta ini akan diinvestasikan sesuai dengan syariah Islam. Keuntungan dari hasil investasi setelah dikurangi dengan beban asuransi (klaim dan premi re-asuransi), akan dibagi antara peserta dan perusahaan menurut prinsip Al-Mudharabah dalam suatu perbandingan tetap berdasarkan perjanjian kerjasama antara perusahaan dengan peserta.
Sedangkan lembaga asuransi konvensional dalam menginvestasikan dananya berdasarkan bunga (riba), kepemilikan dana yang terkumpul dari nasabah (premi) sepenuhnya milik perusahaan asuransi sehingga perusahaan asuransi bebas menentukan investasinya dan pembayaran klaim diambil dari rekening dana perusahaan, dimana pemegang polis tidak mengetahui secara pasti berapa jumlah premi yang berhasil dikumpulkan oleh perusahaan, apakah jumlahnya lebih besar atau lebih kecil dari pada pembayaran klaim yang diakukan, karena di sini perusahaan, sebagai penanggung, bebas menggunakan dan menginvestasikan dananya kemana saja.
8.      Dewan Pengawas Syari’ah (DSN)
Adanya DSN dalam mekanisme berjalannya asuransi Islam/Syari’ah merupakan suatu keniscayaan selain bertugas mengawasi operasional dalam hal pengeluaran produk dan investasi dari asuransi islam/syari’ah agar dalam kegiatannya tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip syari’ah.
Tidak adanya dewan pengawas Islam sehingga dalam praktiknya dimungkinkan adanya hal-hal yang bertentangan dengan prinsip-prinsip syari’ah.
9.      Objek Asuransi
Dilihat dari sisi objek asuransi, asuransi islam/syari’ah terutama asuransi kerugian harus membatasi dirinya pada objek-objek asuransi yang halal dan baik menurut prinsip-prinsip syari’ah. Objek-objek asuransi yang mengandung unsur keharaman, kemaksiatan dan melanggar kesusilaan, tidak boleh diterima oleh asuransi syari’ah. Berbeda dengan asuransi konvensional bahwa aspek-aspek tersebut tidak terlalu diperhatikan. Hal ini menjadikan kemungkinan asuransi konvensional melanggar prinsip-prinsip syari’ah.
10.  Investasi
Dalam asuransi islam/syari’ah unsur dari hasil investasi berdasarkan prinsip bagi hasil atau biasa juga dengan prinsip murabahah, musyarakah, al-bai’ bi tsaman ajil, salam, istishna dan pengembangan dari akad tijarah lainnya, dengan pengelolaan keuntungan investasi dibagi menjadi dua antara perusahaan dengan nasabah (pemegang polis) atau antara perusahaan asuransi dengan pengusaha.
Adapun untuk asuransi konvensional, Yadi Janwari (dalam bukunya Asuransi Syari’ah) mengatakan : pada umumnya dana yang terkumpul pada asuransi konvensional diinvestasikan oleh pihak perusahaan asuransi dengan menggunakan prinsip bunga (interest). Diinvestasikan itu bisa dalam bentuk deposito di bank konvensional maupun dalam bentuk suntikan modal kepada perusahaan (investor) dengan perhitungan suku bunga tertentu.
11.  Kepemilikan Dana
Dalam perusahaan asuransi Islam/Syari’ah dana yang terkumpul dari peserta asuransi berupa pembayaran premi dan kontribusinya merupakan hak milik peserta. Pihak perusahaan asuransi hanya sebagai pengelola atau pemegang amanah dari peserta asuransi.
Adapun dalam asuransi konvensional, iuran yang dibayarkan oleh peserta asuransi menjadi milik atau hak perusahaan dan berwenang menentukan sendiri jenis dan bentuk dari investasi ke mana saja.
12.  Sumber Pembayaran Klaim
Sumber pembayaran klaim dari asuransi Islam/Syari’ah bersumber dari rekening tabarru yang diperoleh dari semua peserta asuransi dengan prinsip saling menanggung di mana antar pesrta satu dengan lainnya jika terjadi klaim, maka peserta lainnya bersama-sama menanggungnya. Adapun untuk asuransi konvensional murni dari rekening perusahaan.
Kesimpulan
Jadi, peranan perusahaan asuransi pada asuransi syariah terbatas hanya sebagai pemegang amanah dalam mengelola dan menginvestasikan dana dari kontribusi peserta. Sudah jelas disini bahwa posisi perusahaan asuransi syariah hanyalah sebagai pengelola atau operator saja dan bukan sebagai pemilik dana. Sebagai pengelola atau operator, fungsi perusahaan asuransi hanya mengelola dana peserta saja, dan pengelola tidak boleh menggunakan dana-dana tersebut jika tidak ada kuasa dari peserta, bukan sebagai penanggung seperti pada asuransi konvensional.
Dengan demikian maka unsur ketidak jelasan (Gharar) dan untung-untungan (Maysir) pun akan hilang karena :
1.      Posisi peserta sebagai pemilik dana menjadi lebih dominan dibandingkan dengan posisi perusahaan yang hanya sebagai pengelola dana peserta saja.
2.      Peserta akan memperoleh pembagian keuntungan dari dana tabarru’ yang terkumpul.
Hal ini tentunya sangat berbeda dengan asuransi konvensional (non syariah) dimana pemegang polis tidak mengetahui secara pasti berapa jumlah premi yang berhasil dikumpulkan oleh perusahaan, apakah jumlahnya lebih besar atau lebih kecil dari pada pembayaran klaim yang diakukan, karena di sini perusahaan, sebagai penanggung, bebas menggunakan dan menginvestasikan dananya kemana saja.
Dari perbandingan di atas, dapat diambil kesimpulan bahwa asuransi konvensional tidak memenuhi standar syar’i yang bisa dijadikan objek muamalah yang syah bagi kaum muslimin. Hal itu dikarenakan banyaknya penyimpangan-penyimpangan syariat yang ada dalam asuransi tersebut. Oleh karena itu hendaklah kaum muslimin menjauhi dari bermuamalah yang menggunakan model-model asuransi yang menyimpang tersebut, serta menggantinya dengan asuransi yang senafas dengan prinsip-prinsip muamalah yang telah dijelaskan oleh syariat Islam seperti bentuk-bentuk asuransi syariah yang telah kami paparkan di muka.
Dan perbedaan itu harus dipahami sebagai sebuah keyakinan bahwa asuransi Islam/Syari’ah itu merupakan solusi bagi umat Islam yang selama ini merasa ragu akan keabsahan asuransi konvensional menurut syari’at Islam.

DAFTAR PUSTAKA
Huda, Nurul dan Heykal, Mohamad. Lembaga Keuangan Islam : Tinjauan Teoritis dan Praktis. Kencana Prenada Media Group, 2010, Jakarta.
www.ekonomisyariat.com
mau dengan tugas ini ... ? Tolong jika ada kekurangan dalam tulisan ini mohon ditembah referensinya ....
silahkan download disini