ASURANSI SYARI’AH
PERBEDAAN SECARA UMUM ANTARA ASURANSI SYARI’AH DENGAN ASURANSI KONVENSIONAL
Sebelum lebih jauh kita melihat
perbedaan antara asuransi syari’ah dengan asuransi konvensional terlebih dahulu
kita melihat persamaan diantara kedua lembaga tersebut. Menurut Muhammad
Firdaus (dalam bukunya yang berjudul Sistem Operasional Asuransi Syari’ah)
bahwa persamaan kedua lembaga antara asuransi syari’ah dengan konvensionnal
adalah sama-sama berbentuk lembaga atau jasa keuangan yang menghimpun dana
masyarakat untuk memberikan perlindungan kepada anggota masyarakat pemakai jasa
asuransi terhadap kemungkinan timbulnya kerugian karena suatu peristiwa yangn
tidak pasti datangnya, seperti; kecelakaan, kebakaran, meninggal dunia, dan
sebagainya. Atau juga sama-sama suatu lembaga yang bertugas memberikan jasa
proteksi untuk mengelola dan menanggulangi resiko atas bencana atau kerugian.
Perbedaan paling mendasar antara asuransi
syari’ah dengan konvensional terutama terletak pada prinsip ta’awun
(tanggung-menanggung) yang menjadi tulang punggung bagi asuransi syari’ah,
dibandingkan dengan asuransi konvensionnal yang lebih mendasarkan pengalihan
resiko dari nasabah kepada perusahaan asuransi.
Perbedaan-perbedaan lainnya antara asuransi
syari’ah dengan konvensional antara lain :
1. Misi dan Visi
Misi yang diemban
dalam asuransi syari’ah adalah misi Aqidah (membersihkan diri dari praktik
muamalah yang bertentangan dengan syari’ah), misi ibadah, misi mengangkat
perekonnomian umat, dan misi pemberdayaan umat. Tolong menolong sesama peserta
dengan hanya berharap keridhaan Allah.
Adapun misi dan
visi konvensional secara garis besar misi utamanya adalah komisi reasuransi dan
hasil investasi seluruhnya adalah merupakan keuntungan perusahaan.
2. Konsep
Konsep asuransi
syari’ah adalah sekumpulan orang yang saling bantu-membantu, saling menjamin,
dan bekerja sama antara satu dengan lainnya dengan cara masing-masing
mengeluarkan dana tabarru’.
Adapun konsep
asuransi konvensional adalah perjanjian antara dua belah pihak atau lebih,
dimana pihak penanggung mengaitkan diri kepada tertanggung dengan menerima
pergantian kepada tertanggung.
3. Asal Usul Asuransi
Asuransi telah
dikenal sejak zaman dahulu kala, dikarenakan nilai dasar penopang dari konsep
asuransi ini yang terwujud dalam bentuk tolong-menolong sudah ada bersama
dengan adanya manusia. Dimana manusia pada masa itu telah menyelamatkan jiwanya
dari berbagai ancaman, antarai lain kekurangan bahan makanan.
Asal usul asuransi
dilihat dari Al-Aqilah,
yaitu kebiasaan suku Arab jauh sebelum Islam datang. Kemudian
disahkan oleh Rasulullah menjadi hukum Islam, bahkan telah tertuang dalam
konstitusi pertama di dunia (Konstitusi Madinah) yang dibuat langsung oleh
Rasulullah.
Asal usul asuransi
berasal dari
masyarakat Babilonia 4000-3000 SM yang dikenal dengan perjanjian Hammurabi. Dan
tahun 1668 M di Coffee
House London berdirilah Lloyd of London sebagai cikal bakal asuransi
konvensional.
Sejak tahun 1979 ketika sebuah
perusahaan asuransi di Sudan, yaitu Sudanese Islamic Insurance pertama kali
memperkenalkan asuransi
syariah. Kemudian pada tahun yang sama sebuah perusahaan asuransi
jiwa di Uni Emirat Arab juga memperkenalkan asuransi syariah di wilayah Arab.
Setelah itu pada tahun 1981 sebuah
perusahaan asuransi jiwa di Swiss bernama Dar Al-Maal Al-Islami
memperkenalkan asuransi syariah di Jenewa. Diiringi oleh penerbitan
asuransi syariah kedua di Eropa yang di perkenalkan oleh Islamic Takafol
Company (ITC) di Luksemburg pada tahun 1983, dan diikuti pada beberapa
negara yang lain. Hingga saat ini asuransi syariah semakin dikenal luas dan
dinikmati oleh masyarakat dan negara-negara baik muslim maupun non-muslim.
4. Sumber Hukum
Sumber hukum dari
asuransi syari’ah bersumber dari wahyu illahi. Sumber hukum dalam Islam adalah
Al-Qur’an, As-Sunnah (kebiasaan rasul), ijma’, fatwa sahabat, qiyas, istihsan,
urf, tradisi dan maslahah mursalah.
1) Al-Qur’an
Dalam Al-Qur’an memang tidak dijelaskan
secarah utuh tentang praktik asuransi syari’ah dan tidak satu pun ayat yang
menjelaskan tentang praktik ta’min dan takaful. Akan tetapi dalam Al-Qur’an
terdapat ayat yang memuat tentang nilai-nilai asuransi syari’ah/islam.
(Syarifuddin, 2001:1 : Ushul Fiqh Jilid 2). Nilai-nilai yang diambil Al-Qur’an
antara lain :
a. Perintah Allah Mempersiapkan Hari Depan
Surat Al-Hasyr : 18 :
يٰأَيُّهَا الَّذِيْنَ ءَامَنُوْا
اتَّقُوا اللهَ وَلْتَنْظُرْ نَفسٌ مَّاقَدَّمَتْ لِغَدٍۖ وَاتَّقَوااللهَۚ إِنَّ
اللهَ خَبِيْرُۘ بِمَا تَعْمَلُوْنَ﴿۱۸﴾
Hai orang-orang
yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan hendaklah setiap diri memperhatikan
apa yang telah diperbuatnya untuk hari esok (akhirat); dan bertakwalah kepada
Allah, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.
b. Perintah Allah untuk saling tolong menolong dan
bekerjasama
Surat Al-Maidah : 2 :
وَتَعَاوَنُوْا عَلَى الْبِرِّ
وَالتَّقْوَىۖ وَلاَتَعَاوَنُواعَلَى الإِسْمِ وَالْعُدْوَٰنِۚ وَاتَّقُوااللهَۖ
إِنَّ اللهَ شَدِيْدُ الْعِقَابِ﴿۲﴾
“.... Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan)
kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan
pelanggaran dan bertakwalah kamu kepada Allah, sesungguhnya Allah amat berat
siksa-Nya”
Jadi prinsip yang paling utama dalam
konsep asuransi Islam adalah prinsip tolong-menolong atau dalam bahasa
Al-Qur’an disebut ta’awun adalah inti dari semua prinsip dalam asuransi
syari’ah.
c. Perintah Allah untuk melindungi dalam keadaan susah
Surah Al-Quraisy : 4 :
اَلَّذِىْ أَطْعَمَهُمْ مِنْ جُوعٍ
وَءَامَنَهُمْ مِنْ خَوْفٍ ﴿٤﴾
“Yang telah memberi makanan kepada mereka untuk
menghilangkan lapar dan mengamankan mereka dari ketakutan.”
d. Perintah allah untuk bertawakkal dan optimis berusaha
Surat Lukman : 34 :
وَمَاتَدْرِى نَفْسٌ مَّاذَا تَكْسِبُ
غَدًاۖ وَمَاتَدْرِى نَفْسٌ بِأَيِّ أَرْضٍ تَمُوْتُۚ إِنَّ اللهَ عَلِيْمٌ
خَبِيْرٌ﴿۳٤﴾
“Dan tiada seorang pun yang dapat mengetahui (dengan
pasti) apa yang akan diusahakannya besok. Dan tiada seorang pun yang dapat
mengetahui di bumi mana dia akan mati, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi
Maha Mengenal.”
Manusia itu tidak dapat mengetahui
dengan pasti apa yang akan diusahakannya besok atau yang akan diperolehnya,
namun demikian, mereka diwajibkan berusaha.
2) As-Sunnah (kebiasan Rasul)
Hadist tentang menghindari resiko
Diriwayatkan dari Anas bin Malik ra., bertanya seseorang
kepada Rasulullah Saw. tentang (untanya) : “Apa (unta) ini saya ikat saja atau
lansung saya bertawakkal pada Allah Swt? Bersabda Rasulullah Saw : “Pertama
Ikatlah unta itu, kemudian bertawkallah kepada Allah Swt. (H.R. At-Tirmidzi).
3) Ijma’
Para sahabat telah melakukan
kesepakatan (ittifaq) dalam hal Aqilah yang dilakukan oleh khalifah Umar
bin Khatab. Adanya ijma atau kesepakatan ini tampak dengan tidak ada sahabat
lainnya yang menentang pelaksanaan aqilah ini. Aqilah adalah iuran darah
yang dilakukan oleh keluarga dari pihak laki-laki (ashabah) dari sisi pembunuh
(orang yang menyebabkan kematian orang lain secara tidak sewenang-wenang).
Dalam hal ini kelompoklah yang menanggung pembayaran, karena si pembunuh
merupakan anggota dari kelompok tersebut. Dengan tidak adanya sahabat yang
menentang khalifah Umar r.a., bisa disimpulkan bahwa telah terdapat ijma di
kalangan sahabat Nabi Saw mengenai persoalan ini.
4) Fatwa Sahabat
Praktik sahabat berkenaan dengan
pembayaran hukuman (ganti rugi0 pernah dilaksanakan oleh khalifah kedua, Umar
bin Khatab mereka berkata “orang-orang yang mana tercantum dalamm diwan
tersebut berhak menyumbang untuk pembayaran hukuman (ganti rugi) atas
pembunuhan (tidak sengaja) yang dilakukan oleh salah seorang anggota masyarakat
mereka.” Umar-lah orang yang pertama kali mengeluarkan perintah untuk
menyiapkan daftar secara profesional per wilayah, dan orang-orang yang
terdaftar diwajibkan saling menanggung beban.
5) Qiyas
Qiyas adalah metode ijtihad dengan
jalan menyamakann hukum suatu hal yang tidak terdapat ketentuan di dalam
Al-Qur’an dan As-Sunnah/Al-Hadist dengan hal lain yang hukumnya disebut dalam
Al-qur’an dan As-Sunnah/Al-Hadist, karena persamaan illat (penyebab atau
alasannya). Sistem aqilah pada zaman pra-Islam di qiyas kan dengan
sistem aqilah yang diterima pada zaman Rasulullah Saw.
6) Istihsan
Istihsan adalah beralih dari penetapan
hukum berdasarkan adat kebiasaan. Adapun mekanisme istihsan berlaku dari
kebiasaan aqilah di kalangan suku Arab kuno/pra-Islam. Letak dari fenomena
sebenarnya dari sistem ini adalah dapat mengubah dan meminimalisasi aksi balas
dendam yang berkelanjutan di masa yang akan datang.
Sedangkan sumber
hukum asuransi konvensional bersumber dari pikiran manusia dan kebudayaan.
Berdasarkan hukum positif, dan hukum alami.
5. Akad
Dalam asuransi
syari’ah akad yang digunakan adalah akad tabarru’ dan akad tijarah
(mudarabah, wakalah, wadiah, syirkah dan sebagainya). Sedangkan dalamm akad
asuransi konvensional adalah akad jual beli (akad mu’awadhah, idz’aan, gharar
dan mulzim).
6. Sharing of Risk dan Transfer of Risk
Proses hubungan peserta dan perusahaan
dalam mekanisme pertanggungan pada asuransi syariah adalah sharing of risk
atau “saling menanggung resiko”. Apabila terjadi musibah, maka semua peserta
asuransi syariah saling menanggung. Dengan demikian, tidak terjadi transfer
resiko ( transfer of risk atau “memindahkan resiko” ) dari peserta ke
perusahaan seperti pada asuransi konvensional.
7. Pengolahan Dana
Di dalam operasional asuransi syariah
yang sebenarnya terjadi adalah saling bertanggung jawab, bantu-membantu dan
melindungi di antara para peserta sendiri. Perusahaan asuransi diberi
kepercayaan (amanah) oleh para peserta untuk mengelola premi, mengembangkan
dengan jalan yang halal, memberikan santunan kepada yang mengalami musibah
sesuai isi akta perjanjian tersebut.
Keuntungan perusahaan asuransi syariah
diperoleh dari bagian keuntungan dana dari para peserta, yang dikembangkan
dengan prinsip mudharabah (sistem bagi hasil). Para peserta asuransi syariah
berkedudukan sebagai pemilik modal dan perusahaan asuransi syariah berfungsi
sebagai yang menjalankan modal. Keuntungan yang diperoleh dari pengembangan
dana itu dibagi antara para peserta dan perusahaan sesuai ketentuan yang telah
disepakati.
Mekanisme pengelolaan dana peserta
(premi) terbagi dua sistem yaitu:
1. Sistem
yang mengandung unsur tabunga
2.
Sistem yang tidak mengandung unsur tabungan
1. Sistem yang mengandung unsur tabungan
Setiap peserta wajib membayar sejumlah
uang secara teratur kepada perusahaan. Besar premi yang akan dibayarkan
tergantung kepada kemampuan peserta. Akan tetapi perusahaan menetapkan jumlah
minimum premi yang dapat dibayarkan. Setiap peserta dapat membayar premi
tersebut, melalui rekening koran, giro atau membayar langsung. Peserta dapat
memilih cara pembayaran, baik tiap bulan, kuartal, semester maupun tahunan.
Setiap premi yang dibayar oleh peserta
akan dipisah oleh perusahaan asuransi dalam dua rekening yang berbeda, yaitu :
a. Rekening Tabungan, yaitu kumpulan dana yang merupakan milik
peserta, yang dibayarkan bila :
- Perjanjian berakhir
- Peserta mengundurkan diri
- Peserta meninggal dunia
- Peserta mengundurkan diri
- Peserta meninggal dunia
b. Rekening Tabarru’, yaitu kumpulan
dana yang diniatkan oleh peserta sebagai iuran kebajikan untuk tujuan saling
tolong-menolong dan saling membantu, yang dibayarkan bila :
- Peserta meninggal dunia
- Perjanjian telah berakhir (jika ada surplus dana)
- Perjanjian telah berakhir (jika ada surplus dana)
Kumpulan dana peserta ini akan
diinvestasikan sesuai dengan syariah Islam. Tiap keuntungan dari hasil
investasi, setelah dikurangi denagn beban asuransi (klaim dan premi
re-asuransi), akan dibagi menurut prinsip Al-Mudharabah. Prosentase pembagian
mudharabah (bagi hasil) dibuat dalam suatu perbandingan tetap berdasarkan perjanjian
kerjasama antara perusahaan dengan peserta.
2. Sistem yang tidak mengandung unsur tabungan
Setiap premi yang dibayar oleh peserta,
akan dimasukkan dalam Rekening Tabarru’, yaitu kumpulan dana yang diniatkan
oleh peserta sebagai iuran kebajikan untuk tujuan saling tolong-menolong dan
saling membantu, dan dibayarkan bila :
- Peserta meninggal dunia
- Perjanjian telah berakhir (jika ada surplus dana)
Kumpulan dana peserta ini akan
diinvestasikan sesuai dengan syariah Islam. Keuntungan dari hasil investasi
setelah dikurangi dengan beban asuransi (klaim dan premi re-asuransi), akan
dibagi antara peserta dan perusahaan menurut prinsip Al-Mudharabah dalam suatu
perbandingan tetap berdasarkan perjanjian kerjasama antara perusahaan dengan
peserta.
Sedangkan lembaga
asuransi konvensional dalam menginvestasikan dananya berdasarkan bunga (riba),
kepemilikan dana yang terkumpul dari nasabah (premi) sepenuhnya milik
perusahaan asuransi sehingga perusahaan asuransi bebas menentukan investasinya
dan pembayaran klaim diambil dari rekening dana perusahaan, dimana pemegang polis tidak mengetahui
secara pasti berapa jumlah premi yang berhasil dikumpulkan oleh perusahaan,
apakah jumlahnya lebih besar atau lebih kecil dari pada pembayaran klaim yang
diakukan, karena di sini perusahaan, sebagai penanggung, bebas menggunakan dan
menginvestasikan dananya kemana saja.
8. Dewan Pengawas Syari’ah (DSN)
Adanya DSN dalam
mekanisme berjalannya asuransi Islam/Syari’ah merupakan suatu keniscayaan
selain bertugas mengawasi operasional dalam hal pengeluaran produk dan
investasi dari asuransi islam/syari’ah agar dalam kegiatannya tidak
bertentangan dengan prinsip-prinsip syari’ah.
Tidak adanya dewan
pengawas Islam sehingga dalam praktiknya dimungkinkan adanya hal-hal yang
bertentangan dengan prinsip-prinsip syari’ah.
9. Objek Asuransi
Dilihat dari sisi
objek asuransi, asuransi islam/syari’ah terutama asuransi kerugian harus
membatasi dirinya pada objek-objek asuransi yang halal dan baik menurut
prinsip-prinsip syari’ah. Objek-objek asuransi yang mengandung unsur keharaman,
kemaksiatan dan melanggar kesusilaan, tidak boleh diterima oleh asuransi
syari’ah. Berbeda dengan asuransi konvensional bahwa aspek-aspek tersebut tidak
terlalu diperhatikan. Hal ini menjadikan kemungkinan asuransi konvensional
melanggar prinsip-prinsip syari’ah.
10. Investasi
Dalam asuransi
islam/syari’ah unsur dari hasil investasi berdasarkan prinsip bagi hasil atau
biasa juga dengan prinsip murabahah, musyarakah, al-bai’ bi tsaman ajil,
salam, istishna dan pengembangan dari akad tijarah lainnya, dengan
pengelolaan keuntungan investasi dibagi menjadi dua antara perusahaan dengan
nasabah (pemegang polis) atau antara perusahaan asuransi dengan pengusaha.
Adapun untuk
asuransi konvensional, Yadi Janwari (dalam bukunya Asuransi Syari’ah)
mengatakan : pada umumnya dana yang terkumpul pada asuransi konvensional diinvestasikan
oleh pihak perusahaan asuransi dengan menggunakan prinsip bunga (interest).
Diinvestasikan itu bisa dalam bentuk deposito di bank konvensional maupun dalam
bentuk suntikan modal kepada perusahaan (investor) dengan perhitungan suku
bunga tertentu.
11. Kepemilikan Dana
Dalam perusahaan
asuransi Islam/Syari’ah dana yang terkumpul dari peserta asuransi berupa
pembayaran premi dan kontribusinya merupakan hak milik peserta. Pihak
perusahaan asuransi hanya sebagai pengelola atau pemegang amanah dari peserta
asuransi.
Adapun dalam
asuransi konvensional, iuran yang dibayarkan oleh peserta asuransi menjadi
milik atau hak perusahaan dan berwenang menentukan sendiri jenis dan bentuk
dari investasi ke mana saja.
12. Sumber Pembayaran Klaim
Sumber pembayaran
klaim dari asuransi Islam/Syari’ah bersumber dari rekening tabarru yang
diperoleh dari semua peserta asuransi dengan prinsip saling menanggung di mana
antar pesrta satu dengan lainnya jika terjadi klaim, maka peserta lainnya
bersama-sama menanggungnya. Adapun untuk asuransi konvensional murni dari
rekening perusahaan.
Kesimpulan
Jadi, peranan perusahaan asuransi pada
asuransi syariah terbatas hanya sebagai pemegang amanah dalam mengelola dan
menginvestasikan dana dari kontribusi peserta. Sudah jelas disini bahwa posisi
perusahaan asuransi syariah hanyalah sebagai pengelola
atau operator saja dan bukan sebagai pemilik dana. Sebagai pengelola atau
operator, fungsi perusahaan asuransi hanya mengelola dana peserta saja, dan
pengelola tidak boleh menggunakan dana-dana tersebut jika tidak ada kuasa dari
peserta, bukan sebagai penanggung seperti pada asuransi konvensional.
Dengan
demikian maka unsur ketidak jelasan (Gharar) dan untung-untungan (Maysir) pun akan
hilang karena :
1. Posisi
peserta sebagai pemilik dana menjadi lebih dominan dibandingkan dengan posisi
perusahaan yang hanya sebagai pengelola dana peserta saja.
2.
Peserta akan memperoleh pembagian keuntungan dari dana
tabarru’ yang terkumpul.
Hal
ini tentunya sangat berbeda dengan asuransi konvensional (non syariah) dimana
pemegang polis tidak mengetahui secara pasti berapa jumlah premi yang berhasil
dikumpulkan oleh perusahaan, apakah jumlahnya lebih besar atau lebih kecil dari
pada pembayaran klaim yang diakukan, karena di sini perusahaan, sebagai
penanggung, bebas menggunakan dan menginvestasikan dananya kemana saja.
Dari perbandingan di atas, dapat
diambil kesimpulan bahwa asuransi konvensional tidak memenuhi standar syar’i
yang bisa dijadikan objek muamalah yang syah bagi kaum muslimin.
Hal itu dikarenakan banyaknya penyimpangan-penyimpangan syariat yang ada dalam
asuransi tersebut. Oleh karena itu hendaklah kaum muslimin menjauhi dari
bermuamalah yang menggunakan model-model asuransi yang menyimpang tersebut,
serta menggantinya dengan asuransi yang senafas dengan prinsip-prinsip muamalah
yang telah dijelaskan oleh syariat Islam seperti bentuk-bentuk asuransi syariah
yang telah kami paparkan di muka.
Dan perbedaan itu harus dipahami
sebagai sebuah keyakinan bahwa asuransi Islam/Syari’ah itu merupakan solusi
bagi umat Islam yang selama ini merasa ragu akan keabsahan asuransi konvensional
menurut syari’at Islam.
DAFTAR PUSTAKA
Huda, Nurul dan Heykal, Mohamad. Lembaga
Keuangan Islam : Tinjauan Teoritis dan Praktis. Kencana Prenada Media
Group, 2010, Jakarta.
www.ekonomisyariat.com
mau dengan tugas ini ... ? Tolong jika ada kekurangan dalam tulisan ini mohon ditembah referensinya ....
silahkan download disini
mau dengan tugas ini ... ? Tolong jika ada kekurangan dalam tulisan ini mohon ditembah referensinya ....
silahkan download disini